Oleh:
George Musser (Sumber: Special Edition Scientific American – A Matter of
Time, 2006, hal. 12-13)
Fisikawan
kelihatannya tak mampu memahami waktu—sungguh. Dapatkah filsuf menolong?
Bagi
kebanyakan orang, misteri besar waktu adalah bahwa rasanya kita tak pernah
mempunyai cukup waktu. Jika ini adalah suatu hiburan, fisikawan menghadapi
persoalan yang sama. Hukum fisika memuat variabel waktu, tapi ia gagal
menangkap aspek kunci waktu yang kita jalani—khususnya, perbedaan antara masa
lalu dan masa depan. Dan selagi periset mencoba merumuskan hukum yang lebih
fundamental, si t kecil menguap sama sekali. Terjebak situasi sulit,
banyak fisikawan mencari pertolongan dari sumber yang tak familiar: filsuf. ”
/>
Dari
filsuf? Bagi kebanyakan fisikawan, itu terdengar agak aneh. Jalinan terdekat
beberapa [ilmuwan] dengan filsafat adalah saat percakapan larut malam soal bir
hitam. Bahkan mereka yang telah membaca filsafat secara serius pada umumnya
menyangsikan kegunaannya; setelah berhalaman-halaman Kant, filsafat mulai
terasa tak bisa dipahami dalam menyelidiki hal-hal yang tak dapat ditentukan.
“Terus terang, saya pikir sebagian besar kolega saya takut berbincang dengan
filsuf—seolah-olah tertangkap basah keluar dari sebuah bioskop porno,” kata
fisikawan Max Tegmark dari Universitas Pennsylvania.
Tapi
tidak selalu demikian. Filsuf memainkan peran krusial dalam revolusi sains di
masa lalu, termasuk pengembangan mekanika quantum dan relativitas di awal abad
20. Hari ini sebuah revolusi baru sedang berlangsung, saat fisikawan berjuang
menggabungkan kedua teori itu menjadi teori gravitasi quantum—sebuah teori yang
akan merekonsiliasikan dua konsepsi ruang dan waktu yang berbeda jauh. Carlo
Rovelli dari Universitas Aix-Marseille di Prancis, pemimpin dalam usaha ini,
mengatakan, “Kontribusi filsuf terhadap pemahaman baru tentang ruang dan waktu
dalam gravitasi quantum akan penting sekali.”
Dua
contoh mengilustrasikan bagaimana fisikawan dan filsuf telah menyatukan sumber
daya mereka. Contoh pertama menyangkut “persoalan waktu beku” (problem of
frozen time), juga secara sederhana dikenal sebagai “persoalan waktu”. Ini
timbul ketika para teoris mencoba mengubah teori relativitas umum Albert
Einstein menjadi sebuah teori quantum dengan memakai prosedur yang disebut canonical
quantization (quantisasi kanonikal). Prosedur tersebut bekerja secara
brilian ketika diterapkan pada teori gaya elektromagnet, tapi dalam kasus
relativitas, ia menghasilkan sebuah persamaan (persamaan Wheeler-DeWitten)
tanpa variabel waktu. Dipikirkan secara harfiah, persamaan ini mengindikasikan
bahwa alam semesta semestinya terbeku dalam waktu, tak pernah berubah.
Jangan
Membuang-buang Waktu Lagi
Hasil
tak menyenangkan ini bisa mencerminkan cacat dalam prosedur tersebut sendiri,
tapi beberapa fisikawan dan filsuf berargumen bahwa itu memiliki akar yang
lebih dalam, persis menuju salah satu prinsip dasar relativitas: kovariansi
umum, yang berpegang bahwa hukum fisika adalah sama untuk semua pengamat.
Fisikawan memikirkan prinsip ini dari segi geometri. Dua pengamat akan
mempersepsikan ruangwaktu memiliki dua bentuk berbeda, sesuai dengan
penglihatan mereka tentang siapa yang bergerak dan gaya apa yang beraksi.
Setiap bentuk merupakan versi melengkung halus atas yang lain, sebagaimana
cangkir kopi dianggap sebagai donat yang dibentuk ulang. Kovariansi umum
menyatakan bahwa perbedaannya tidak berarti. Oleh karena itu, dua bentuk
semacam itu adalah ekuivalen secara fisika.
Di
akhir 1980-an, filsuf John Earman dan John D. Norton dari Universitas
Pittsburgh berargumen bahwa kovariansi umum mempunyai implikasi mengejutkan
terhadap pertanyaan metafisik lama: Apakah ruang dan waktu eksis secara
terpisah dari bintang, galaksi, dan muatan lainnya (sebuah kedudukan yang
dikenal sebagai substantivalism), ataukah ruang dan waktu hanya
perangkat artifisial untuk menggambarkan bagaimana objek-objek fisik saling
terhubung (relationism)? Sebagaimana ditulis Norton, “Apakah mereka
seperti kanvas yang di atasnya seorang seniman melukis; mereka eksis tanpa
menghiraukan apakah seniman melukis di atasnya atau tidak? Ataukah mereka sama
dengan kedudukan orangtua; tidak ada kedudukan orangtua sampai ada orangtua dan
anak.”
Dia
dan Earman meninjau kembali eksperimen pikiran milik Einstein yang sudah lama
diabaikan. Pikirkan tambalan hampa ruangwaktu. Di luar lubang ini, distribusi
materi menentukan geometri ruangwaktu, menurut persamaan relativitas. Namun, di
dalam, kovariansi umum memperkenankan ruangwaktu mengambil beraneka ragam
bentuk. Sedikit banyak, ruangwaktu berperilaku seperti tenda kanvas. Tiang
tenda, yang mewakili materi, memaksa kanvas mengambil bentuk tertentu. Tapi
jika Anda menghilangkan satu tiang, menciptakan lubang yang ekuivalen, bagian
tenda bisa merosot, menunduk, atau berkerut akibat angin tanpa bisa diprediksi.
Mengesampingkan
perbedaan halus, eksperimen pikiran menimbulkan dilema. Jika continuum
(rangkaian kesatuan) adalah sesuatu yang pada tempatnya (sebagaimana pendapat
substantivalisme), maka relativitas umum harus indeterministis—yakni, uraiannya
tentang dunia harus memuat elemen keacakan. Agar teori tersebut deterministis,
ruangwaktu harus fiksi belaka (sebagaimana pendapat relasionisme). Sekilas, ini
sepertinya kemenangan bagi relasionisme. Di samping itu, teori-teori lain,
seperti gaya elektromagnet, didasarkan pada kesimetrian yang menyerupai
relasionisme.
Tapi
relasionisme punya masalahnya sendiri. Ia merupakan sumber pokok persoalan
waktu beku: ruang bisa berubah dibanding waktu, tapi jika bentuknya yang banyak
adalah ekuivalen semuanya, ia tak pernah sungguh-sungguh berubah. Selain itu,
relasionisme berbenturan dengan fondasi substantivalis mekanika quantum. Jika
ruangwaktu tak mempunyai pengertian pasti, bagaimana bisa Anda melakukan
pengamatan di tempat dan momen tertentu, sebagaimana diwajibkan oleh mekanika
quantum?
Resolusi
berbeda atas dilema ini membawa pada teori-teori gravitasi quantum yang sangat
berlainan. Beberapa fisikawan, seperti Rovelli dan Julian Barbour, mencoba
pendekatan relasionis; mereka berpikir waktu tidak eksis dan mereka telah
mencari cara untuk menjelaskan perubahan sebagai suatu ilusi. Yang lainnya,
termasuk para teoris string, condong kepada substantivalisme.
“Ini
adalah contoh bagus nilai filsafat fisika,” kata filsuf Craig Callender dari
Universitas California, San Diego. “Bila fisikawan berpikir bahwa persoalan
waktu dalam canonical quantum gravity (gravitasi quantum kanonikal)
adalah persoalan quantum semata-mata, maka mereka melukai pemahaman mereka atas
persoalan tersebut—sebab ini telah bersama kita jauh lebih lama dan lebih
umum.”
Berjalan
di Entropi
Contoh
kedua kontribusi filsuf adalah berkenaan dengan anak panah waktu—keasimetrian
masa lalu dan masa depan. Banyak orang berasumsi bahwa anak panah dijelaskan
oleh hukum termodinamika kedua, yang menyatakan bahwa entropi, secara longgar
didefinisikan sebagai jumlah ketidakteraturan dalam sebuah sistem, meningkat
seiring waktu. Tapi tak ada seorang pun yang bisa betul-betul menerangkan hukum
kedua tersebut.
Penjelasan
paling utama, diajukan oleh fisikawan Austria abad 19, Ludwig Boltzmann, adalah
probabilitas. Ide dasarnya adalah bahwa terdapat lebih banyak cara bagi sebuah
sistem untuk tidak teratur daripada teratur. Jika saat ini sistem agak teratur,
ia mungkin akan tidak teratur sesaat dari sekarang. Namun, pemikiran ini
simetris dalam hal waktu. Sistem mungkin lebih tak teratur juga sesaat yang
lalu. Sebagaimana diakui Boltzmann, satu-satunya cara untuk memastikan bahwa
entropi akan meningkat di masa depan adalah jika ia berawal dengan harga yang
rendah di masa lalu. Dengan demikian, hukum [termodinamika] kedua bukanlah
kebenaran fundamental seperti kejadian sejarah, mungkin terkait dengan peristiwa-peristiwa
di awal big bang.
Teori-teori
lain untuk anak panah waktu sama tidak lengkapnya. Filsuf Huw Price dari
Universitas Sydney berargumen bahwa hampir setiap upaya untuk menjelaskan
keasimetrian waktu menderita argumentasi sirkuler, seperti semacam praduga
tersembunyi atas keasimetrian waktu. Karyanya merupakan sebuah contoh bagaimana
filsuf bisa bertindak, dalam kata-kata filsuf Richard Helaey dari Universitas
Arizona, sebagai “suara hati intelektual para fisikawan”. Terlatih khusus dalam
kekerasan logika, mereka adalah ahli dalam melacak bias-bias halus.
Hidup
akan membosankan bila kita selalu mendengarkan suara hati kita, dan fisikawan
telah sering melakukan yang terbaik ketika mengabaikan filsuf. Tapi dalam
pertarungan abadi dengan lompatan logika kita sendiri, suara hati kadang kala
harus kita pegang.
Penulis
George Musser adalah staf editor dan penulis di majalah Scientific American.
George Musser adalah staf editor dan penulis di majalah Scientific American.
Untuk
Digali Lebih Jauh
·
Time’s Arrow & Archimedes’ Point:
New Directions for the Physics of Time.
Huw Price. Oxford University Press, 1996.
·
From Metaphysics to Physics.
Gordon Belot dan John Earman dalam From Physics to Philosophy. Disunting oleh
Jeremy Butterfield dan Constantine Pagonis. Cambridge University Press, 1999.
·
Quantum Spacetime: What Do We Know?.
Carlo Rovelli dalam Physics Meets Philosophy at the Planck Scale: Contemporary
Theories in Quantum Gravity. Disunting oleh Craig Callender dan Nick Huggett.
Cambridge University Press, 2001. www.arxiv.org/abs/gr-qc/9903045.
fwfkwfr
BalasHapus